Perjalanan ke Gunung Rinjani sebenarnya sudah dilakukan tahun lalu (2015). Tepatnya seminggu setelah lebaran Idul Fitri saya mengambil cuti penuh (block leave). Berikut ya cerita saya ke Gunung Rinjani yang cukup meninggalkan trauma mendalam. #halah
Bandara Internasional Lombok (LOP)
Beberapa hari sebelum keberangkatan ada force majeure erupsi Gunung Raung. Beberapa bandara di Jawa Timur sempat buka tutup dan beberapa penerbangan ditunda. Berhubung keberangkatan saat itu dari Bandara Juanda Surabaya, saya cukup deg-degan jadwal perjalanan terganggu. Untungnya saat keberangkatan yakni 21 Juli 2015, bandara Juanda masih melayani penerbangan, terutama ke Lombok International Airport (LIA). Yeay!
Singkat kata, alhamdulillah saya berhasil mendarat di LIA dengan selamat. Walaupun saya sudah pernah ke Lombok beberapa waktu sebelumnya tapi baru kali ini saya mampir LIA. Kesan kali pertama di bandara yang dulunya bernama Bandara Internasional Lombok (BIL) ini, kecil dan kurang terawat. Semoga hari ini kondisinya menjadi jauh lebih baik.
Saya mampir di masjid sekitar bandara sembari menunggu Tour Leader (TL) yang akan menjemput saya dan rombongan lainnya di bandara. Kondisi saya saat itu kurang sehat sebab diare yang tak kunjung sembuh sejak beberapa hari sebelum keberangkatan. Bolak balik ke kamar mandi untuk sekadar membuang hajat.
Penginapan di Sembalun
Agak siang akhirnya TL datang menjemput menggunakan kendaraan semacam elf. Sekitar 2-3 jam kami menempuh perjalanan ke penginapan yang akan kami tempat semalam sebelum pendakian. Hujan sempat turun dan saya cukup panik sebab lupa membawa jas ujan, mungkin gara-gara fokus berkemas dengan barang-barang yang diperlukan untuk pulang kampung.
Penginapan yang bisa dibilang sekadar homestay ini mampu menampung kami yang berjumlah belasan orang tidur beralas matras.
Plawangan Sembalun
Pagi-pagi kami berangkat menuju basecamp untuk registrasi dan briefing singkat oleh TL sebelum pendakian dimulai. Ada 2 orang dalam rombongan yang menyewa jasa 1 porter pribadi untuk membawa barang-barang mereka. Beberapa porter lainnya disewa jasanya oleh TL untuk membawa barang-barang bersama. Saya pun menitipkan barang-barang yang sekiranya tidak dibutuhkan selama pendakian.
Pukul 8 pagi kami memulai pendakian dan terasa cukup melelahkan melewati sabana menuju pos 1. Terik matahari cukup menguras tenaga saat menuju pos 2 dan saya mulai ketinggalan kelompok. Saya mencari porter untuk menitipkan beberapa barang berat lainnya seperti tripod dan kamera DSLR tapi tak kunjung ketemu, sepertinya mereka sudah jauh di depan.
Di pos 2 saya beristirahat makan siang (yang sebenarnya sudah telat), saya sempat hampir menyerah di kondisi badan yang sangat teramat payah. Kemudian saya pun ditemani salah satu TL namanya Sam, kami menyusuri jalur pendakian perlahan demi perlahan. Ditambah lagi pendakian melewati bukit penyesalan yang memperlihatkan keindahan kaki bukit di bawah sinar senja. Saya tidak sempat berlama-lama untuk dokumentasi sebab fokus saya saat itu yakni saya harus sampai di pos Plawangan Sembalun sebelum malam.
Sesuai perkiraan, saya sudah sampai di Plawangan Sembalun pukul 6 sore. Namun hal itu sebenarnya masih di luar rencana yang awalnya tiba pukul 4 sore atau 8 jam perjalanan. Tenda sudah dibangun dan masakan sudah matang. Kaki saya sudah pegal tidak bisa melangkah dengan nyaman, terasa nyeri di bagian pangkal paha.
Saya pesimis bisa ikut mendaki sampai puncak (summit) keesokan harinya. Saya pun makan untuk mengisi energi yang terkuras. Kemudian foto-foto milky way sebelum tidur pulas dan bersiap untuk pendakian esok hari.
Bersambung…
3 respons untuk ‘Rinjani’