Saat itu kami berdua masih belum kebayang gimana sih tanda-tanda udah mau melahirkan. Kalau udah tau kan enak, kami berdua bisa yakin untuk segera bersiap dan pergi ke rumah sakit. Soalnya rumah sakit kan baru ngasih tindakan kalau udah ada bukaan. Kalau ternyata belum ada bukaan, biasanya disuruh kembali dalam beberapa jam atau bahkan esok hari.
Kebingungan ini biasanya memang melanda orang tua baru (atau yang udah pernah lahiran juga masih ada bingung?). Pengalaman orang bisa berbeda-beda ya tapi gue mau cerita bagaimana kami berdua melalui proses selama melahirkan kemarin. Semoga sekelumit cerita ini bisa membantu.
Menyambut kehadiran baby H, ternyata banyak hal yang pengen gue share. Baca juga : Apa ya barang-barang yang dibawa ke rumah sakit saat melahirkan? (Hospital Bag) atau Pengalaman melahirkan di Primaya Hospital mulai dari daftar UGD sampai tutup billing.

Pas usia kehamilan 30 minggu, kami udah beli beberapa peralatan bayi, termasuk baju, botol, tempat tidur, dst. Sebagai calon orang tua baru, euforia kami menyambut baby H sangat tinggi. Namun ga heran juga kalau ada yang masih santai baru beli kelengkapan bayi pas nanti sudah melahirkan aja.
Setelah dicuci, awalnya peralatan tersebut dikemas dalam sebuah tas. Berhubung yang dibawa bukan cuma kebutuhan bayi ya, ada keperluan kami juga, ga muat tuh 1 tas aja. Akhirnya kami bawa koper ukuran kecil dan hampir gak muat juga. Ya dipres pres dikit lah biar muat, alhamdulillah. Hahaha.
Jujur gue sih sebenernya harap harap cemas kalau ternyata kontraksinya berlangsung pas gue lagi kerja. Soalnya waktu yang ditempuh buat pulang tuh 1,5 jam. Masa’ istri harus nahan selama itu? Belum lagi jalan ke rumah sakit, perjalanannya bisa 1 jam sendiri, kalau macet bisa 1,5 jam.
Nah kalau denger cerita-cerita orang sih, proses kontraksi menuju melahirkan itu berjam-jam, tapi kan bisa jadi proses melahirkan di istri gue berbeda ya. Pikiran ini bikin gue nervous (atau anxious?). Tapi sedikit demi sedikit gue meyakinkan diri bahwa kondisi masih terkendali. Sambil berdoa semoga proses kontraksi itu terjadi saat gue lagi di rumah.

Kenapa sih ga milih rumah sakit yang deket aja? Atau klinik? Pertama, istri punya preference dokter obgyn cewek. Nah sepertinya dokter itu rujukan dari temannya yang pernah ditangani dokter itu juga. Kedua, kami gak mau ada risiko aneh aneh yang bisa terjadi kalau gak ditangani di rumah sakit. Soalnya ada pengalaman saudara yang harus dirujuk ke rumah sakit di tengah proses melahirkan di klinik. Ketiga, alhamdulillah kami diberi rejeki untuk bisa menjalani proses melahirkan di rumah sakit. Walaupun sebenernya deg degan juga sih, cukup ga ya duitnya. Haha.
Sehari hari istri sering nungging, seperti yang disarankan oleh dokter agar janin berubah ke posisi yang baik (gak sungsang) dan masuk panggul, apalagi pas mendekati usia melahirkan. Katanya usia janin sudah cukup dan organnya sudah berkembang dengan baik itu usia kehamilan 37-40 minggu. Jadi kalau posisi masih sungsang atau belum masuk panggul, proses melahirkan normal jadi gak mudah.
Selain sering nungging, istri juga ikut senam hamil di klinik dekat tempat tinggal. Biayanya sangat murah, ditambah ada sesi edukasi di setiap akhir program. Kebetulan istri baru ikut saat usia kehamilan 30 minggu. Sayang banget sih karena udah ketinggalan banyak sesi edukasi yang menurut kami sangat penting dan menguntungkan kami sebagai orang tua baru yang clueless tentang kehamilan dan newborn. Ditambah ada grup whatsapp juga untuk ibu ibu yang pernah ikut senam hamil, seringkali ada tanya jawab terkait problema kehamilan (dan bayi newborn) jadi enak aja gitu bisa ikut nimbrung atau sekadar nyimak. Hahaha.
Nah selain itu, istri juga sering olahraga ringan mandiri dengan menggunakan gym ball di rumah. Bahannya yang murah saja, bisa beli online, misalnya Tokopedia.

Beberapa kali istri cerita sempat mengalami keram perut yang berulang, tapi setelah membetulkan posisi badan, keram tersebut hilang. Padahal usia kehamilan masih belum mencapai 36 minggu. Later did we know, itu yang namanya Braxton-Hicks, kontraksi palsu di mana janin sedang berlatih melakukan proses kelahiran.
Kontraksi palsu ini juga membuat kami nervous, bagaimana istri membedakan mana kontraksi palsu dan kontraksi asli. Waktu itu kami berpikir, ah pergi ke bidan dulu saja yang dekat tempat tinggal untuk mastiin udah ada bukaan atau belum. Tapi kalau sekarang dipikir pikir, ngecek bukaan itu ternyata bikin istri kesakitan. Takutnya malah bikin trauma, kayak cerita istri yang temannya memilih operasi sesar daripada dicek bukaan oleh bidan untuk yang ketiga kalinya.
Kamis siang, istri ngabarin kalau dia nemuin flek, dokter pernah bilang itu salah satu tanda proses melahirkan sudah dimulai. Saat itu gue bilang aja ke istri, coba ke klinik ngecek bukaan, tapi malah katanya nanti aja bareng gue pas udah di rumah. Okeee, baiklah. Pas gue udah di rumah, udah buru-buru pulang tuh, eh istri malah bilang besok aja ngeceknya, sekalian mau check up ke dokter. Baiklaaaaah.
Tengah malem sekitar pukul 1 dini hari, istri bangunin gue dan ngasih tau kontraksinya udah 5 menit sekali selama 1 jam, sambil nunjukin aplikasi untuk track pola kontraksi. Sambil ucek-ucek mata, gue berpikir, wah serius nih kayaknya, ga bisa ditunda lagi. Akhirnya kami menyiapkan perlengkapan, termasuk hospital bag, kemudian pergi berangkat ke rumah sakit.

Setibanya di UGD, istri diperiksa dan ternyata udah bukaan 3. Kontraksi sedikit demi sedikit bertambah cepat selang terjadinya. Proses kelahiran berjalan dengan cukup lancar dengan beberapa hambatan. Tapi hamdalah, istri berhasil melahirkan normal (spontan) dengan kondisi sehat.
Alhamdulillah gue bisa dan diizinikan menemani istri di ruangan bersalin. Gue menyaksikan bagaimana istri berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anak kami. Gue cuma bisa bantu mengingatkan istri untuk mengatur pola nafas yang efektif.
Saat kontraksi hilang, istri mengambil nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaga. Begitu kontraksi datang, istri mengejan kuat. Proses mengejan ini difokuskan ke bagian bawah seperti buang air besar, bukan hanya tertahan di leher/tenggorokan. Proses ini cukup penting dilakukan secara efektif untuk menghemat tenaga sang ibu, juga agar tidak kehilangan kesadaran. Nah peran gue di ruangan bersalin ya membantu istri tetap waras dengan pola pernafasan yang baik dan benar. Btw itu tips dari temen yang udah punya 2 anak. Hat tip to Eja.
Btw gue kemarin lupa bener nyiapin kendi untuk nampung ari-ari. Haha.
Begitulah kira-kira sharing cerita gue dari sisi suami tentang proses melahirkan. Mungkin ada orang tua baru yang juga punya pertanyaan yang sama/mirip, semoga cerita ini bisa membantu. Selamat menyambut anggota keluarga baru dan semoga sehat selalu ya.
3 respons untuk ‘Detik-Detik Melahirkan’