Orang tua, peran 24/7 tanpa jeda

Gue masih inget banget gimana suasana tahun lalu saat istri melahirkan. Gue yang waktu itu harap-harap cemas gimana nganterin istri ke rumah sakit kalau gue pas lagi kerja. Tengah malem diajakin istri ke rumah sakit karena dia ngerasa kontraksinya udah 5 menit sekali. Bener dong, sampe sana diperiksa ternyata udah bukaan 3, alhamdulillah. Gue juga nemenin istri lahiran di dalam ruangan. Prosesnya relatif cepat walaupun bayi keluar masuk 3x karena ternyata ari-ari terlilit. Alhamdulillah ibu dan bayi dalam kondisi sehat walafiat hingga saat ini baby H genap berusia 1 tahun.

Gue mau cerita aja pengalaman kami melalui 1 tahun ini. Bukan sesuatu yang singkat dan mudah untuk dijalani. Kali-kali aja bisa ngasih gambaran kepada para calon orang tua yang baca post ini.

Orang tua itu sebuah peran, sebuah tugas, sebuah amanat, yang perlu dijalankan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita menjadi orang tua, tugasnya ga cuma beliin kebutuhan pokok berupa makanan dan pakaian. Tapi juga berupa kebutuhan mental setiap harinya kepada anak.

Photo by Anna Shvets on Pexels.com

Energi positif tanpa henti

Caring a baby requires a huge huge positive energy, happy face and wide smile, happy voice tone, etc.

Setiap hari setiap detik, menjadi orang tua itu perlu memancarkan energi positif setiap saat ketika berinteraksi dengan anak. Mau itu kondisinya sedang capek, laper, ngantuk, sedih, marah, dan seterusnya. Menurut gue, orang tua ga mungkin menunjukkan emosi yang sedang dirasakan kepada anak yang masih bayi.

Caring a baby is 24/7 role. Having a break? Hahaha. It is an endless job and we signed up for that.

Ya kecuali anaknya diurusin pengasuh ya, orang tua jadi bisa rehat sementara untuk ga ngasuh bayi. Kalaupun bayi sedang tidur, masih ada hal lainnya yang perlu diurus. Misal cuci dan jemur baju, cuci dan steril botol susu. Apalagi saat bayi masih tergolong newborn, kurang dari 3-6 bulan, bayi perlu tidur 16 jam sehari tapi perlu cukup minum susu di saat yang sama. Strategi kami waktu itu ya 2 jam tidur, 1 jam bangun buat minum susu, kemudian tidur lagi 2 jam, bangun lagi buat minum susu, dan seterusnya.

Termasuk dini hari. Ya siklus itu ga berhenti begitu malam tiba. Akhirnya kami bagi peran saja, kalau ga salah sebelum jam 12 malem, gue yang ngasuh, begitu lewat ya istri yang ngasuh sampe subuh. Kurang tidur? Oh ya jelas, itu sudah umum di mana-mana. Gue udah ngeh dan siap kalau konsekuensi kurang tidur ini. Paling ngga, waktu itu kami sudah bisa tidur nyenyak bersama, saat baby H berusia sekitar 6 bulan. Maksudnya tidur nyenyak bersama ini, baby H sudah bisa tidur panjang saat malam hari, kalau misal terbangun ya, palingan cuma laper/haus minta susu sambil merem lagi.

Kekhawatiran tak berkesudahan

Ngomongin konsekuensi menjadi orang tua, gue sih dulunya ngerasa cukup siap menjadi orang tua dan segala konsekuensinya, termasuk kurang tidur. Nah ada 1 hal yang gue kurang siap dan ternyata cukup berpengaruh di kehidupan gue menjadi orang tua. Entah ini cuman gue doang atau umumnya dialamin oleh orang tua tapi gue jadi ngerasa khawatir yang tak berkesudahan terhadap apapun kondisi anak.

Endless worry haunts me to make sure the baby is OK.

Pas fesesnya warna hitam, kami khawatir, pas fesesnya bertekstur pasta, kami khawatir, pas bayi tidurnya bentar, kami khawatir, pas bayi tidurnya panjang, kami khawatir. Pada dasarnya kami khawatir dengan apapun kondisi bayi saat itu. Ya mungkin pengetahuan kami terhadap kondisi bayi yang sehat dan tidak perlu dikhawatirkan itu seperti apa batas-batasnya.

Sering banget kami mikir, duh kok gini, perlu dibawa ke dokter gak ya. Kalau misal pas ga dibawa ke dokter dan emang ga kenapa kenapa ya bagus lah. Tapi kalau misal pas ga dibawa ke dokter dan ternyata perlu ditangani segera? Kita sebagai orang tua menentukan nasib si bayi, jangan sampai terjadi sesuatu hal yang mempengaruhi dia sekarang dan masa depannya.

Photo by Andreas Wohlfahrt on Pexels.com

Penyakit kuning dan batuk pilek

Misalnya saja waktu itu baby H kena penyakit kuning. Kami berdua sangat sangat khawatir kalau penyakit kuningnya ini akan berpengaruh kepada perkembangan otaknya. Setiap hari kami berusaha dengan mencukupi baby H cukup susu dan tidur serta menjemurnya tiap hari. Waktu itu kami memutuskan untuk dirawat di rumah saja (tanpa fototerapi di rumah sakit) karena memang levelnya masih terbilang relatif rendah.

Dalam keyakinan gue, yang penting baby H sering minum susu sehingga sering pipis dan sering pup, yang membantu tubuhnya untuk mengeluarkan bilirubin yang berlebih. Alhamdulillah dalam waktu 2-3 bulan, nampaknya baby H sudah sembuh. Gue bilang nampaknya karena kami nggak cek kadar bilirubinnya lagi.

Pengalaman anak sakit ini terulang saat baby H berusia sekitar 9 bulan. Saat itu ia demam, pilek, dan batuk. Yang paling bikin kasihan tuh saat baby H sudah mapan tidur, eh batuk batuk, otomatis kebangun dong melek lagi. Ya nangislah tuh bocah susah tidur lagi. Alhamdulillah sih ga berlangsung terlalu lama, sekitar 1 minggu saja. Cuman ya tetep aja, gue dan istri juga ikutan terbangun dan begadang.

Urusan batuk pilek ini, kami ga ngasih baby H obat macem-macem. Seinget gue, waktu itu banyakin aja minum susu dan diuap agar lendirnya keluar. Ada juga cara begini, gue belom coba sih, tapi banyak bener videonya, kayaknya sih bener.

Sumber: facebook.com/น้องเอมิลี-Émilie

Pengalaman sunat

Ada satu lagi sih sebenernya, sunat/khitan. Alhamdulillah gue dan istri diberikan rejeki berupa keinginan dan keberanian untuk khitan baby H. Alhamdulillah juga diberikan kelancaran selama proses khitan hingga kesembuhannya. Gue udah cerita panjang lebar di post ini tentang proses khitan/sunat.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.